Sejarah, Asal Usul Desa Klayusiwalan, Batangan, Pati

 

Asal Usul Desa Klayusiwalan

Oleh Amelia Khoiriyah Rosyidah

Sumber : Muhammad Abdul Salim ( 20 tahun)

Dahulu kala hiduplah seorang kakek yang bernama Sawiratma Harjo Sawunggaling, beliau memiliki 2 murid yang bernama Dipoyo Cahyo Aji dan Sri Jaka Handayaning Ningrat mereka bertempat tinggal di Tuban. Sawiratma Harjo Sawunggaling adalah salah satu murid dari  Patih Ronggolawe dari Kerajaan Majapahit. Suatu hari, Ronggolawe memberitau Sawiratma Harjo Sawunggaling bahwa ada suatu daerah yang terkenal dengan kesuburan tanahnya, yang tepat untuk ditanami rempah-rempah untuk menghidupi para prajurit Majapahit. Tempat tersebut terletak di sebelah barat Gunung Bonang, tapi Ki Sawunggaling belum tau tempat tersebut ada di mana. Kemudian Ki Sawunggaling pun bertanya kepada Adipati Ronggolawe. Adipati Ronggolawe pun menyuruh Ki Sawunggaling untuk mengikuti Pusaka Keris Ronggolawe yang di lemparkannya, dimana keris Ronggolawe terjatuh disitulah tempatnya. Ki Sawunggaling dan kedua muridnya pun pergi mengikuti keris yang di lemparkan Adipati Ronggolawe, dan keris tersebut terjatuh di sebuah perkampungan., dimana kampung tersebut bernama Kampung Turi. Penduduk Kampung Turi kebanyakan bekerja sebagai petani. Di Kampung Turi ada seorang anak muda yang terkenal sangat sakti mandraguna, anak muda tersebut bernama Ronggo Adiwiya, tapi sayang ia mempunyai sikap yang kurang pantas, ia sering memperbudak penduduk Kampung Turi.

Mendengar kabar tersebut Ki Sawunggaling pun mencari tahu di mana keberadaan Ronggo Adiwiya, dengan bertanya-tanya kepada penduduk Kampung Turi. Akhirnya Ki Sawunggaling menemukan tempat persinggahan Ronggo Adiwiya, kemudian Ki Sawunggaling pun mendatangi tempat persinggahannya. Ketika sampai di persinggahan, Ronggo Adiwiya pun marah, dan ia menolak mentah mentah atas kedatangan Ki Sawunggaling. Dengan ketidaksukaannya atas kedatangan Ki Sawunggaling, Ki Sawunggaling akhirnya di paksa keluar dari persinggahan Ronggo Adiwiya, akan tetapi Ki Sawunggaling dengan kedua muridnya memberontak. Sehingga menyebabkan Ronggo Adiwiya dan pasukannya pun langsung menyerang mereka. Namun Ki Sawunggaling kalah menghadapi kesakitan ajian yang dimiliki Ronggo Adiwiya, ajian tersebut terkenal dengan nama ajian Rawarontek. Akhirnya mereka berhasil melarikan diri dari hadapan Ronggo Adiwiya.

Seiring berjalannya waktu Ki Sawunggaling dan kedua muridnya berfikir untuk mencari kelemahan ajian Rawarontek,. Untuk dapat mencari kelemahan ajian Rawarontek, Ki Sawunggaling menyuruh  muridnya yang bernama Dipoyo Cahyo Aji untuk  bertapa, tetapi Dipoyo Cahyo Aji tidak tahu di mana letak tempat untuk ia bertapa, kemudian ia bertanya kepada Ki Sawunggaling "Dimana tempatku untuk bertapa guru?", Ki Sawunggaling menjawab " Tempat itu berada di sebelah selatan Kampung Turi, disana terdapat subuah pohon cermai raksasa, jadi jika kamu sudah menemukan pohon cermai raksasa tersebut, bertapalah di bawah pohon cermai selama 3 hari 3 malam". Dengan bentuk hormat kepada Ki Sawunggaling, Dipoyo Cahyo Aji pun dengan senang hati menjalankan tugas ini, ia langsung berjalan menuju tempat yang sudah di beri tau Ki Sawunggaling.

Setelah menemukan tempat yang di maksud oleh Ki Sawunggaling, Dipoyo Cahyo Aji pun langsung bertapa di bawah pohon cermai raksasa selama 3 hari 3 malam. Pada pertapaan malam ke-3 Dipoyo Cahyo Aji di beri tahu kelemahan ajian Rawarontek oleh penunggu pohon cermai raksasa, bahwa kelemahan ajian Rawarontek adalah dengan membunuh orang tersebut saat orang itu tidak menginjakkan kakinya di tanah. Mengetahui kabar ini, Dipoyo Cahyo Aji langsung bangun dari pertapaan dan melaporkan kepada Ki Sawunggaling tentang kelemahan ajian Rawarontek. Ki Sawunggaling merasa senang mendengar kabar tersebut. Keesokan harinya Ki Sawunggaling dengan kedua muridnya menyusun strategi untuk mengalahkan Ronggo Adiwiya. Pada malam hari mereka berjalan mendatangi tempat persinggahan Ronggo Adiwiya, sesampai di tempat persinggahan, Ronggo Adiwiya pun marah besar, ia segera menyuruh pasukan untuk membunuh Ki Sawunggaling dan muridnya. Namun pasukan Ronggo Adiwiya kalah mereka terbunuh semua tanpa tersisa satu nyawa pun. Ronggo Adiwiya pun marah melihat pasukannya terbunuh dan langsung turun tangan untuk menghabisi Ki Sawunggaling, akan tetapi Ronggo Adiwiya pun kalah mengahadapi ki Sawunggaling. Ronggo Adiwiya mati terbunuh di tangan Ki Sawunggaling. Mendengar kabar terbunuhnya Ronggo Adiwiya penduduk Kampung Turi merasa senang karena tidak akan ada lagi orang yang akan memperbudaknya. Sebagai tanda rasa terima kasih kepada Ki Sawunggaling dan kedua muridnya, penduduk Kampung Turi pun mengangkat Ki Sawunggaling sebagai raja di Kerajaan Kampung Turi, sedangkan kedua muridnya di angkat sebagai senopati kerajaan.

Semasa kerajaan dalam pimpinan Ki Sawunggaling, suasana kerajaan dan penduduk Kampung Turi sangat tentram dan nyaman. Namun dengan seiring waktu,  pada malam hari penduduk kampung turi mengalami perampokan dan pembunuhan, ulah tersebut di lakukan oleh gerombolan para bekas pemberontak Kerajaan Turi. Mendengar kabar tersebut raja Ki Sawunggaling marah, dan menyuruh Senopati Sri Jaka Handayaning Ningrat dan prajurit untuk mencari pelaku pembunuhan tersebut, dengan senang hati Sri Jaka Handayaning Ningrat langsung berjalan melaksanakan tugas dan mencari tempat perkumpulan palak tersebut dengan membawa prajurit kerajaan, Senopati Sri Jaka Handayaning Ningrat menyuruh prajurit untuk bertanya kepada penduduk kampung dimana tempat berkumpulnya para palak tersebut, tetapi tidak ada 1 pun warga penduduk yang  tau di mana tempat berkumpulnya palak tersebut, Senopati Sri Jaka Handayaning Ningrat merasa jengkel dalam mencari palak tersebut karena tidak ada satu pun penduduk yang tau, dengan terpaksa akhirnya ia melemparkan tongkatnya dan menyuruh tongkatnya untuk mengantarkan ke  tempat berkumpulnya para palak, kemudian Senopati Sri Jaka Handayaning Ningrat mengikuti arah tongkat, dan tiba-tiba tertancaplah tongkat senopati di pintu gua. mendengar suara tertancapnya tongkat tersebut, para palak pun keluar dari dalam gua, tanpa basa basi parak-palak tersebut langsung menyerang Senopati Sri Jaka Handayaning Ningrat. Namun para kumpulan palak tersebut tidak ada satu pun yang bisa mengalahkan kesakitan Senopati Sri Jaka Handayaning Ningrat. Ia melemparkan tongkatnya ke arah para palak tersebut, seketika para kumpulan palak tersebut berubah menjadi batu. Batu yang menyerupai bentuk kepala banteng, dan sampai sekarang tempat tersebut dinamai dengan "SUMUR BANTENG" ( Letak sumur ini berada di sebelah selatan Desa Klayusiwalan, tepatnya berada di tengah persawahan, sampai sekarang sumur ini masih digunakan sebagai pengairan sawah). Senopati Sri Jaka Handayaning Ningrat berjalan pulang menuju kerajaan setelah berhasil membunuh para palak tersebut, untuk lapor kepada raja Ki Sawunggaling bahwa tugas yang di laksanakan sudah selesai. Mendengar kabar musnahnya para palak, penduduk Kampung Turi merasa tenang.

Pada tahun 1298 Kerajaan Turi diserang oleh Kerajaan Argantara, Kerajaan Argantara terletak di  sebelah selatan Gunung Bonang. Pada saat di serang oleh Kerjaan Argantara, Kerajaan Turi mengalami ke kakalahan, akan tetapi Ki Sawunggaling dan kedua muridnya tidak terima atas kekalahan kerajaannya. Raja Sawunggaling pun menyusun strategi untuk mengalahkan Kerajaan Argantara. Setelah selesai menyusun strategi, Kerajaan Turi bergegas untuk  menyerang Kerajaan Argantara. Akhirnya Kerajaan Argantara pun mengalami keruntuhan. Setelah berhasil menaklukkan Kerajaan Argantara, pada malam harinya Kerajaan Turi mengadakan pesta besar-besaran. Pada saat pelaksanaan pesta digelar, tiba-tiba terjadi sebuah pembunuhan yang di lakukan oleh penduduk Kampung Turi sendiri. Raja pun menyuruh Senopati Sri Jaka Handayaning Ningrat untuk segera mencari siapa dalang pembunuhan ini. Senopati pun langsung begerak cepat untuk melaksanakan tugas yang diperintahkan oleh Raja Sawunggaling. Dalam perjalanan mencari pelaku pembunuhan, terjadilah penyerangan terhadap Senopati. Penyerangan tersebut di lakukan oleh ratusan penduduk Kampung Turi sendiri. Walaupun dengan jumlah yang banyak, tetapi tidak ada satupun yang bisa mengalahkan kesaktian Senopati Sri Jaka Handayaning Ningrat. Untuk menyelematkan diri, ia pun terpaksa harus membunuh mereka yang berusaha memberontak kepada kerajaan. Senopati Sri Jaka Handayaning Ningrat menamai tempat terjadinya penyerangan tersebut menjadi Lelayu tapi orang-orang sering memanggilnya dengan sebutan Klayu. Sedangkan mayat-mayat para penduduk yang berbaring berserakan, fosilnya berubah menjadi pohon. Pohon tersebut diberi nama ‘siwal” yang dikenal dengan sebutan pohon siwalan”. Dari tempat terjadinya peristiwa penyerangan itu, Senopati Sri Jaka Handayaning Ningrat menamai tempat tesebut menjadi "LELAYU SIWAL" yang sekarang lebih dikenal dengan sebutan  "klayu siwalan".

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Gerak Dasar, Lokomotor, Nonlokomotor, Manipulatif